PEMAHAMAN YANG SALAH TENTANG KASTA
Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.
Pada masyarakat Hindu di Bali,terjadi
kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan
wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah
Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila
kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna
adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal
(dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat
yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih
tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini
memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih
baik tidak diperdebatkan lagi.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya.
Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa
berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh;
seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam
belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka
secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang
bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja
seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian,
pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun
derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena
perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah
selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan
tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban
yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup.
Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat
manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja
sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir
hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan
penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur
warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut
namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya,
walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda
tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang
dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki
sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi
pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Konsep kasta sangat bertentangan dengan
konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman
tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga
sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak
tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di
masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.